Pagi tadi. Tidak terlalu pagi. Belum terlalu siang juga. Ada sepasang mata yang tidak sengaja ku tangkap agak jauh jaraknya. Terdapat beberapa detik aku menangkap sinar itu dari kejauhan. Tidak sampai semenit, sembari derap langkahku yang terus melaju, aku menundukkan kepala tetapi tidak bermaksud mengacuhkan tatapan itu. Hei. Dia cuma tidak sengaja menatapmu. Lihat! Kamu berjalan diantara kerumunan dengan posisi berada tepat di garis tengah koridor. Wajar kalau ia yang sedang berdiri di depan pintu itu menoleh ke arah mu saat kamu membelokkan badan dan berjalan menuju ke arah ia berdiri.
Aku gagal memasuki kelas karena ternyata sudah penuh dan tidak ada ruang lagi untuk seorang pun di dalamnya. Begitu juga dengannya. Itulah mengapa ia berdiri di depan pintu. Bukan. Bukan hanya kami berdua. Ada beberapa temanku yang juga tidak kebagian kursi di dalam ruangan. Aku tidak nyaman situasi seperti ini. Aku hanya berdiri di serambi atas sambil menatap mahasiswa lainnya yang sedang berebut tempat parkir. Aku memikirkan apa yang bisa ku lakukan dengan situasi seperti ini. Baca. Ya. Untungnya aku selalu membawa buku bacaan di dalam tasku. Membaca dengan posisi berdiri, kenapa tidak? Malah katanya bisa membakar beberapa ratus kalori dalam tubuh. Suara teman yang memanggilku membuatku harus menutup buku bacaan itu karena aku harus menghormati siapa saja yang berbicara denganku. Akhirnya aku memasukkan buku ke dalam tasku. Ternyata temanku hanya berbicara sebentar. Tapi aku sudah enggan untuk melanjutkan membaca. Aku memilih untuk diam dan kembali menatap mahasiswa lainnya di bawah sana. Lamunanku tersadar akan sosok di samping kiri ku yang tiba-tiba berdiri di sebelahku. Aku spontan menoleh padanya. Ah, ternyata ia sang pemilik tatapan itu. "Dimas, cerpennya berhasil lolos. Masuk antologi. Tinggal dibukukan."
"Wow. Judulnya apa?"
"Wanita Berjilbab Sastra"
Selama percakapan itu terdapat tatapan yang tidak kulepas dari kedua mataku, ada senyuman yang enggan ku abaikan. Namun dari hasil yang aku tatap selama percakapan, ia sama sekali tak menyinggung kalau ia ingin membacanya. Bahkan ia tidak menanyakan bagaimana ceritanya. Lalu, kenapa aku tetap saja menjadikannya pemeran utama dalam ceritaku?
-RANPP-