Hujan. Setiap tetesnya selalu membuatku teringat masa dulu. Seolah
kau masih ada di hidupku, di sampingku, di setiap hujan datang. Hawa dinginnya
membuatku merasakan seolah aku masih bersamanya. Rasa ini tidak mau pergi. Rasa
yang selalu menginginkan hujan untuk tidak segera berakhir walaupun setelahnya
selalu ada pelangi yang indah.
Banyak momen indah bersamanya. Hujan yang selalu menjadi saksi bisu
kebahagiaan kami. Aku masih ingat momen bersamamu saat hujan mengguyur dengan
tenang. Saat itu, kau dan aku masih kelas X. Masih jaman-jamannya sepedaan
bareng. Itu adalah kali pertama aku keluar rumah hanya berdua dengannya.
Bersepeda mengelilingi kota berhati nyaman ini.
Sore itu masih cerah, matahari masih bersinar walaupun sudah hampir
terbenam. Cahaya senjanya membuat bayangan kami lebih panjang. Setelah
bersepeda sampai kawasan UGM, matahari mulai menghilang tertutup awan mendung
yang tiba-tiba datang. Kami masih melanjutkan bersepeda. Namun, hawa dingin ini
terus menyerang hingga akhirnya turun hujan.
“Awan! Hujan nih!”, kataku sambil menahan mata agar terbuka karena
tetesan air hujan.
“Iya. Foodcourt aja yuk sambil neduh.”
Kami pun bersepeda menuju foodcourt UGM yang tidak jauh dari
kawasan tersebut.
“Ah gila nih hujan nggak reda-reda”, gerutunya sambil menghisap
rokok yang sudah tinggal setengah itu.
“Iya nih. Mana rumah kita kan jauh. Ntar kalo kemaleman gimana?”,
kataku dengan nada cemas.
“Tenang aja. Sebentar lagi pasti reda. Hmm. Semoga.”
Sudah jam 7 malam dan hujan masih saja enggan untuk pergi. Kami
sudah menghabiskan banyak makanan dan minuman di foodcourt ini. Bahkan
Awan sudah menghabiskan hampir setengah bungkus dari rokoknya. Sedari tadi kami
berbincang tentang banyak hal. Entah menggosipkan teman-teman kami. Sampai berbicara
tentang masa depan yang tidak masuk akal.
“Eh udah agak reda, terjang aja yuk.”
Aku melihat ke arah parkiran sepeda yang sudah dipenuhi banyak
orang.
“Yaudah yuk.”
Kami sampai rumah sekitar jam 9 malam. Aku sudah lama berteman
dengannya tapi aku baru merasakan sedekat ini. Rasanya berbeda, seperti ada
yang menari di dalam perutku, dan ada yang bernyanyi indah di pikiranku.
Tunggu. Apa? Tidak. Tidak. Aku tidak boleh berpikir seperti ini.
****
Beberapa tahun kemudian, saat kami tengah berada di bangku kuliah.
Sudah sekitar 4 tahun aku tidak bertemu dengan Awan. Aku kuliah di
luar kota karena orang tua ku pindah ke kota lain. Aku dan Awan masih
berkomunikasi dengan baik, hanya saja tidak pernah bertemu lagi seperti dulu.
“Assalamu’alaikum”, ku ketuk pintu berwarna coklat keemasan itu.
Rumah yang tidak asing bagiku. Masih seperti dulu, hanya saja ada beberapa
tambahan sedikit di halaman depan rumahnya. Ya. Aku sedang berada di depan
rumah Awan.
*ting tong ting tong*
Ku coba bunyikan bel rumahnya. Tampak seperti tidak ada orang di
rumah. Aku berniat untuk pergi. Baru aku melangkahkan kaki untuk pergi,
tiba-tiba terdengar suara dari dalam rumah.
“Sebentar”
*ceklek*
Pintu terbuka dengan seseorang dibaliknya. Tinggi. Rambut
acak-acakan. Muka bantal. Dan yang pasti, tetap cool.
“Aliani”
Sungguh tak tertahankan rasa bahagia ini. Seseorang yang sudah lama
sekali tidak pernah berjumpa, seseorang yang selalu ku rindukan, kini berada
tepat di depanku. Di depan mataku. Aku bisa melihat rasa rindu yang tak
tertahankan dari sorot matanya yang hampir mengeluarkan air mata itu. Tentu
saja. Ia langsung memelukku erat.
“Masuk, Al. Kok nggak ngabarin dulu sih kalo mau dateng? Kamu
sendirian ke sini?”, katanya seraya menyilakan aku untuk duduk.
“Hehe sengaja kan biar kejutan. Iya sendiri sekalian latian nyetir
sendiri hehe. Kamu pasti baru bangun ya?”
“ Wuidih gaya nih. Iya nih semalem habis lembur biasalah hahaha. Eh
aku bikinin minum dulu ya. Mau minum apa?”
“Halaaahh nggak usah repot-repot kali, kayak sama siapa aja haha”
“Ih kamu kan sekarang tamu, udah bukan tetangga ku lagi haha”
“Yaudah deh terserah kamu aja”, kataku sambil tersenyum.
Siang itu, tak ada satupun yang luput dari pembicaraan kami. Entah
itu keluarga, kuliah, pacar, apapun itu. Hingga waktu cepat berlalu, memaksaku
harus segera pulang dan berpisah dengannya lagi. Akhirnya aku berpamitan
dengannya. Aku bisa melihat raut sedih terpancar dari wajahnya yang penuh
karisma. Bahkan, mungkin raut wajahku lebih terlihat buruk darinya.
“Ati-ati ya. Salam buat keluarga”, katanya sambil menjabat
tanganku.
Kenapa hari ini berjalan begitu cepat. Aku hanya menggumam dalam
hati sambil menyetir mobil. Aku teringat percakapan siang tadi saat kami
membicarakan soal masa depan, pendamping hidup dan semacamnya.
“Dewasa tu gimana sih?”, tanyaku untuk memecah keheningan.
“Dewasa tu ya udah gede. Udah bisa bedain mana yang bener mana yang
salah.”
“Dari mana kita tau kalo orang itu udah dewasa apa belum?”
“Ya diliat aja dari sehari-harinya, cara dia nyelesain masalah,
misalnya.”
“Menurutmu, aku udah dewasa belum?”
“Kamu? Emmm kok nanya gitu sih?”
“Ya nggak papa sih cuma nanya doang. Katanya jodoh itu dateng kalo
kita udah dewasa.”
“Hahaha baca dimana kamu? Oh jadi ini soal jodoh? Ckck.”
“Pernah baca di tumblr sih. Katanya sih gitu. Kalo kita udah
dewasa, baru deh kita dikasih jodoh. Tapi bukan dewasa umurnya.”
“Ya ya aku tau maksudnya. Emmm ya yang namanya jodoh kan emang
misterius. Kita tunggu aja. Jaman sekarang tuh nggak jaman lagi kalo kenal,
jalan terus jadian. Kamu bakal capek kalo pola pikirmu kayak gitu terus.
Mending nih cari temen yang banyak terus besok tinggal milih deh.”
Apa mungkin dia jodohku? Aku bergumam lagi sambil berpikir.
Lamunanku tersadar oleh klakson mobil yang menyuruhku untuk cepat melaju karena
traffic light sudah berganti warna hijau. Ah kenapa aku bisa berpikir
sejauh ini? Hhhh. Aku menghela panjang. Sore ini hujan. Ah kenapa hujan selalu
mengikuti momenku saat bersama Awan. Entah ini hujan yang ke berapa.
****
Satu tahun kemudian.
“Jadi, emang bener nih, kayaknya emang kamu yang terakhir deh”,
kataku sambil tersenyum dan memandangi cincin yang baru dikenakan olehnya.
“Haha ini semua karna Allah”.
Awan baru saja melamarku. Hamparan ombak dan angin pantai yang
menjadi saksi bisu atas kejadian ini. Langit senja yang perlahan mulai datang
dan matahari yang tidak mau kalah untuk bersembunyi di balik hamparan laut sore
ini. Namun, ada satu yang terlambat. Hujan. Aku sama sekali tidak melihat tanda
akan hujan di sepanjang garis pantai ini.
“Awan, kamu ngerasa ada yang kurang nggak sih?”, tanyaku saat kami
perjalanan pulang.
“Apaan?”
“Hujan. Kamu nggak inget? Tiap kali kita pergi bareng, punya momen
bareng pasti selalu hujan.”
“Eh iya bener juga sih. Kapan ya kita pergi bareng tanpa hujan?
Hmm. Tuh daerah utara udah mulai mendung”, katanya sambil menunjuk utara menggunakan
kepalanya.
“Nih udah ada yang netes”, kataku sambil menunjuk tetesan air yang
jatuh di kaca mobil.
Tidak lama setelah itu.
“Horeeee hujan!”, teriak Awan kegirangan sambil mengguncang lembut
bahuku.
“Kayaknya emang hujan tu soundtrack dari momen-momen kita haha”,
candaku sambil menepuk bahunya.
****
Enam bulan setelah Awan melamarku.
Kau seperti hujan di musim kemarau. Terkadang, tiba-tiba datang
lalu pergi, datang lalu tidak pernah pergi, datang lalu tak pernah kembali.
Namun, aku yakin kau pasti kembali. Entah. Menjadi hujan di musim hujan,
mungkin, yang selalu datang hingga waktunya habis. Atau kau memang seperti
hujan di musim kemarau yang tak jelas kapan datang dan perginya. Aku
merindukanmu. Rindu saat bersamamu. Rindu telingamu yang selalu mendengarkan
semua celotehanku.
Awan apa kabar? Ah ingatan ini muncul kembali saat hujan turun.
Sudah enam bulan aku tidak pernah mendengar kabar tentang Awan. Menghubungi
lewat social media apapun juga jarang mendapat respon. Setiap kali aku
hubungi selalu sibuk. Ku tanya sana-sini, banyak yang bilang Awan jarang di
rumah. Aku mencoba menghubungi nomor rumahnya selalu pembantunya yang
mengangkat. Sebenarnya di mana Awan, tunanganku ini? Aneh sekali. Apa yang
terjadi dengan Awan? Jarak yang cukup jauh dengan segala kesibukan aktivitas
membuat kami jarang bertemu. Aku harus yakin kalau Awan baik-baik saja.
Lamunanku tersadar oleh ponsel ku yang bergetar menandakan ada
panggilan masuk.
“Awan!”, teriakku kegirangan sambil mengangkat telfon darinya.
“Hey, sehat?”
“Alhamdulillah, kamu?”
“Iya alhamdulillah juga, nanti jam 3 sore jemput aku di bandara
Adisucipto ya? Kangen banget nih”
“Hah? Kamu dari mana? Kok tiba-tiba udah di luar Jogja aja?”
“Nanti aku ceritain ya. Oke? Udah dulu ya”
“Iya deh. Hati-hati”
Awan. Selalu punya cara untuk membuatku terkejut. Apa-apaan nih
tiba-tiba udah di luar kota aja. Ngapain sih sebenernya. Aku terus menggerutu
dalam hati. Tenang. Tetap berpikir positif. Ini hari Sabtu, jadi aku pulang
kerja lebih awal. Sepulang dari kantor, aku langsung meluncur ke kota berhati
nyaman dengan mengendarai Juke hitam milikku. Butuh waktu sekitar dua
jam perjalanan. Aku menyalakan radio untuk menemani perjalananku. And now
playing A Rocket to The Moon – Ever Enough. Pas banget nih lagunya, lagu
favoritku dengan Awan. Belum selesai lagu diputarkan sampai akhir, tiba-tiba
ada breaking news yang meyela dan mengabarkan bahwa “Terjadi kecelakaan
pesawat jurusan Lombok-Yogyakarta pada siang ini yang diduga pesawat tersebut
tergelincir saat akan landing dan korban......”
Awan? Aku merasa sangat cemas dan khawatir apakah itu pesawat yang
ditumpangi Awan atau bukan. Kucoba menghubungi ponselnya berkali-kali tapi
nihil. Aku menambah laju kecepatan mobilku agar cepat sampai di airport.
Memastikan kalau itu bukan pesawat yang ditumpangi Awan.
Sesampainya di airport, aku menuju ke waiting room
dan menemukan daftar korban meninggal atas kecelakaan pesawat yang barusan
terjadi. Kulihat satu persatu nama yang tertulis di papan tersebut.
Penglihatanku mulai kabur, tak terasa bulir air mata ini mengalir ke pipi saat
aku temukan nama Awan Trihatmojo tertulis di papan tersebut sebagai korban yang
sudah meninggal. Tubuhku tak berdaya. Aku terjatuh di lantai dalam keadaan
tidak sadar. Aku tidak ingat apa yang terjadi setelahnya.
****
Kini hujan kembali turun. Mengantarkan kepergiannya untuk
selamanya. Kali ini hujan turun bukan karena aku sedang menikmati momen bahagia
dengan Awan. Hujan turun karena merasa kehilangan. Kehilangan sosok Awan yang
kini tak mungkin kembali lagi. Kembali menikmati hujan turun bersamaku. Tidak
ada lagi canda dan tawa di bawah derasnya hujan turun. Pergilah kau, hujan, dan
bawa segala kesedihanku.
Setelah pemakaman berakhir, aku diajak ke kamar Awan oleh adiknya.
Ia bercerita, alasan mengapa Awan tidak pernah menghubungiku adalah karena dia
sibuk. Mengurus segala persiapan untuk pesta pernikahanku dengannya. Ia sengaja
memilih Lombok untuk pesta itu diselenggarakan karena ia tau aku sangat
menginginkan pergi ke sana. Juga, Awan tak ingin aku mengetahui tentang ini
semua, supaya kejutan, katanya. Aku tak kuasa menahan air mata yang terus
mengalir deras di pipiku. Aku berusaha menahannya, tapi dadaku sesak
mendengarkan cerita adiknya. Aku tak menyangka Awan akan pergi secepat ini.
Jodoh memang salah satu misteri yang dimiliki Allah. Aku harus bisa menerima
semua ini,
****
Dua tahun setelah kematian Awan.
Semenjak Awan meninggal, aku semakin rajin menulis cerpen di blog.
Banyak inspirasi datang yang tak bisa aku lewatkan untuk ditulis. Sebenarnya aku
lelah mencari seseorang untuk dijadikan suami. Aku takut jika suatu saat nanti
aku akan mengalami hal yang sama dengan Mama yang ditinggalkan Papa karena
perempuan lain. Aku tidak membenci para lelaki, aku hanya takut, hingga dulu
akhirnya aku hampir digariskan untuk hidup dengan Awan. Aku percaya, cerita
Allah lebih hebat dan indah. Dan aku percaya, jika aku kembali membuka hati
maka aku akan dicintai oleh seseorang yang lain. Karena hidup tanpa mencintai,
tidak akan menemukan akhir yang bahagia. Begitulah dongeng yang pernah
diceritakan Awan padaku.
Kini, dengan perlahan aku sudah bisa membuka hati kembali. Perlahan
ada seseorang yang datang. Seseorang yang memberiku kisah lain. Rega. Orang
asli Surakarta. Dia seorang pemain saxophone. Dia juga sering menulis di
blog. Aku bertemu dengannya di toko buku saat aku launching novel
perdanaku.
“Aliani kan?”
Tampak seseorang sedang berbicara ke arahku saat aku sibuk memberi
tanda tangan pada novel-novelku.
“Eh?” , aku tersentak kaget dan melihat ke arahnya. “Iya benar”,
jawabku sambil memiringkan sedikit kepalaku seolah bertanya siapa ya?
“Oh, kenalin. Aku Rega, yang sering ninggalin comment di
setiap cerpen yang kamu tulis di blog. Aku salah satu fans mu. Aku suka semua
cerpen yang kamu tulis di blog”, katanya sambil tersenyum dan mengajak berjabat
tangan denganku.
“Oh iya iya maaf aku nggak ngeh hehe. Duh makasih banget ya
udah suka sama cerpen-cerpenku”, kataku sambil membalas jabatannya.
Semenjak itu, aku sering membalas setiap comment-nya di blog
dan kami menjadi akrab. Kami sering bertemu dan menghabiskan waktu bersama.
Sampai akhirnya kami berencana untuk membuat novel bersama. Akibat dari
pertemuan yang sering untuk mengerjakan proyek tersebut, tumbuhlah benih-benih
baru dalam hatiku. Rasanya seperti pop-corn yang sedang meletup-letup.
Entah apa namanya, tapi aku sudah lama sekali tidak merasakan yang seperti ini
setelah Awan pergi. Mungkinkah ini cinta yang baru? Mungkinkah aku sudah bisa
melepaskan Awan sepenuhnya? Mungkinkah?
Satu tahun kemudian, novel pertama kami sukses dan banyak digemari
anak-anak remaja. Untuk merayakan kesuksesan tersebut, Rega mengajakku pergi ke
bukit bintang di Kaliurang, Yogyakarta. Kami pergi bukan untuk memandangi
bintang-bintang di langit. Malam ini mendung, jadi kami tidak akan menemukan
bintang di langit. Lalu? Kami tetap bisa melihat benda berkelip terang dan
indah di langit malam yang mendung ini. Itu adalah lampu-lampu kota yang sedang
bertugas untuk menerangi gelapnya malam. Di bawah langit yang mendung, kami
menikmatinya, aku merasakan atmosfer kehangatan saat berada di dekatnya. Rasa
nyaman ini sungguh tidak ingin aku akhiri. Saat aku sedang menghirup udara
malam sambil memejamkan mataku, tiba-tiba Rega memanggilku dengan lembut.
“Aliani..”
Aku agak terkejut dan langsung membuka mata lalu menoleh ke
arahnya.
“Ada apa?”, kataku sambil tersenyum.
“Jadi, gimana nih realisasi cerita yang di novel kita?”
“Hmm?”, ku kernyitkan keningku dengan raut wajah yang agak bingung.
“Kayak judulnya, I’ll be Davinci if you be my Monalisa”, katanya
dengan serius yang matanya terus menatapku sambil mengeluarkan benda berkilau
dari dalam saku celananya.
“Tunggu deh. Ini...” aku tak sanggup berkata-kata dan masih menatap
wajahnya yang seolah-olah berharap penuh padaku.
“Aku pengen cerita kita berakhir kayak imajinasi yang kita buat di
novel kita. Yang semuanya berakhir bahagia dengan ridha Allah.”
“Aku takut..”, kataku sambil menundukkan kepalaku.
“Tenang...rencana hidup yang kita buat emang nggak ada yang salah.
Tapi kita masih punya Allah yang berhak buat nentuin cerita kita. Kamu harus
yakin kalau ini adalah yang terbaik. Kalaupun ceritanya bakal kejadian kayak
dulu lagi, naudzubillah, kamu harus serahin lagi semuanya ke Allah. Percaya
deh.”
Kata-katanya sungguh menyentuh hatiku. Membuat hati ini terus
bergetar dan aku semakin terisak dalam tangis. Namun, aku harus yakin kalau ini
semua terjadi karena Allah, atas izin Allah. Mungkin butuh waktu selama ini
untuk membenahi diriku agar aku dipertemukan dengan Rega.
Seminggu setelah kejadian malam itu, aku resmi menikah dengannya.
Aku tak ingin lama-lama. Aku tak ingin hal seperti dulu terulang lagi. Pesta
pernikahanku berlangsung dengan khidmat dan sederhana. Walaupun sebelumnya
terjadi hujan gerimis dan langit tampak mendung, tak lama setelah itu muncul
warna yang indah di langit. Ah itu pelangi. Terima kasih, Allah. Aku tau setelah
Kau datangkan hujan yang lebat padaku, sekarang Kau memberiku pelangi yang
indah. Mungkinkah ini jodoh yang telah Kau titipkan padaku. Aku akan menjaganya
sebaik dan semampuku atas izin-Mu, ya Allah. Aku akan menjaganya bak pelangi
yang tidak segera memudarkan warna-warna indahnya.
Dibukukan oleh Penerbit Pesma An-Najah Press dengan judul buku Misteri Jodoh. 2014.
-RANPP-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar